Oleh
Syaikh Dr Sahlih bin Fauzan bin Abdullah
Al-Fauzan
Bagian Pertama dari Dua Tulisan
[1/2]
Di antaranya adalah
:
[A] Perayaan bertepatan dengan kelahiran Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada bulan Rabiul Awwal.
[B] Tabarruk (mengambil berkah) dari tempat-tempat
tertentu, barang-barang peninggalan, dan dari orang-orang baik, yang hidup
ataupun yang sudah meninggal.
[C] Bid’ah dalam hal ibadah dan taqarrub kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala
Bid’ah-bid’ah modern banyak sekali macamnya, seiring
dengan berlalunya zaman, sedikitnya ilmu, banyaknya para penyeru (da’i) yang
mengajak kepada bid’ah dan penyimpangan, dan merebaknya tasyabuh (meniru)
orang-orang kafir, baik dalam masalah adat kebiasaan maupun ritual agama
mereka. Hal ini
menunjukkan kebenaran (fakta) sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
“Artinya : Sungguh kalian akan
mengikuti cara-cara kaum sebelum kalian” [Hadits Riwayat At-Turmudzi, dan ia
men-shahihkannya]
[1] Perayaan Bertepatan Dengan Kelahiran Nabi Muhammad
Shallallahu ‘Alaihi
Wa Sallam
Pada Bulan Rabiul Awwal.
Merayakan kelahiran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
adalah bid’ah, karena perayaan tersebut tidak ada dasarnya dalam Kitab dan
Sunnah, juga dalam perbuatan Salaf Shalih dan pada generasi-generasi pilihan
terdahulu. Perayaan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam baru terjadi
setelah abad ke empat Hijriyah.
Imam Abu Ja’far Tajuddin berkata
: “Saya tidak tahu bahwa perayaan ini mempunyai dasar dalam Kitab dan
Sunnah, dan tidak pula keterangan yang dinukil bahwa hal tersebut pernah
dilakukan oleh seorang dari para ulama yang merupakan panutan dalam beragama,
yang sangat kuat dan berpegang teguh terhadap atsar (keterangan) generasi
terdahulu. Perayaan itu tiada lain adalah bid’ah yang
diada-adakan oleh orang-orang yang tidak punya kerjaan dan merupakan tempat
pelampiasan nafsu yang sangat dimanfaatkan oleh orang-orang yang hobi makan”
[Risalatul Maurid fi Amalil Maulid]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata :
“Begitu pula praktek yang diada-adakan oleh sebagian manusia, baik karena hanya
meniru orang-orang nasrani sehubungan dengan kelahiran Nabi Isa ‘Alaihis Salam
atau karena alasan cinta kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka
menjadikan kelahiran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai sebuah perayaan.
Padahal tanggal kelahiran beliau masih menjadi ajang
perselisihan.
Dan hal semacam ini belum pernah dilakukan oleh ulama
salaf (terdahulu). Jika sekiranya hal tersebut memang merupakan kebaikan yang murni
atau merupakan pendapat yang kuat, tentu mereka itu lebih berhak (pasti)
melakukannya dari pada kita, sebab mereka itu lebih cinta dan lebih hormat pada
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari pada kita. Mereka itu lebih giat terhadap perbuatan
baik.
Sebenarnya, kecintaan dan penghormatan terhadap
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tercermin dalam meniru, mentaati dan
mengikuti perintah beliau, menghidupkan sunnah beliau baik lahir maupun bathin
dan menyebarkan agama yang dibawanya, serta memperjuangkannya dengan hati,
tangan dan lisan. Begitulah jalan
generasi awal terdahulu, dari kaum Muhajirin, Anshar dan Tabi’in yang mengikuti
mereka dengan baik” [Iqtida ‘Ash-Shirath Al-Mustaqim
1/615]
[2] Tabbaruk (Mengambil Berkah) Dari Tempat-Tempat
Tertentu, Barang-Barang Peninggalan, Dan Dari Orang-Orang Baik, Yang Hidup
Ataupun Yang Sudah Meninggal.
Termasuk di antara bid’ah juga adalah tabarruk
(mengharapkan berkah) dari makhluk.
Dan ini merupakan salah satu bentuk dari watsaniyah
(pengabdian terhadap mahluk) dan juga dijadikan jaringan bisnis untuk
mendapatkan uang dari orang-orang awam.
Tabarruk artinya memohon berkah dan berkah artinya
tetapnya dan bertambahnya kebaikan yang ada pada sesuatu. Dan memohon tetap dan bertambahnya kebaikan tidaklah
mungkin bisa diharapkan kecuali dari yang memiliki dan mampu untuk itu dan dia
adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah-lah yang menurunkan berkah dan mengekalkannya. Adapun mahluk, dia tidak mampu menetapkan dan
mengekalkannya.
Maka, praktek tabarruk dari tempat-tempat tertentu,
barang-barang peninggalan dan orang-orang baik, baik yang hidup ataupun yang
sudah meninggal tidak boleh dilakukan karena praktek ini bisa termasuk syirik
bila ada keyakinan bahwa barang-barang tersebut dapat memberikan berkah, atau
termasuk media menuju syirik, bila ada keyakinan bahwa menziarahi barang-barang
tersebut, memegangnya dan mengusapnya merupakan penyebab untuk mendapatkan
berkah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Adapun tabarruk yang dilakukan para sahabat dengan
rambut, ludah dan sesuatu yang terpisah/terlepas dari tubuh Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana disinggung terdahulu, hal tersebut
hanya khusus Rasulullah di masa hidup beliau dan saat beliau berada di antara
mereka ; dengan dalil bahwa para sahabat tidak
ber-tabarruk dengan bekas kamar dan kuburan beliau setelah
wafat.
Mereka juga tidak pergi ke tempat-tempat shalat atau
tempat-tempat duduk untuk ber-tabarruk, apalagi kuburan-kuburan para
wali. Mereka juga
tidak ber-tabarruk dari orang-orang shalih seperti Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu,
Umar Radhiyallahu ‘anhu dan yang lainnya dari para sahabat yang mulia.
Baik semasa hidup ataupun setelah meninggal. Mereka tidak pergi ke Gua Hira untuk shalat dan berdo’a di situ, dan
tidak pula ke tempat-tempat lainnya, seperti gunung-gunung yang katanya disana
terdapat kuburan nabi-nabi dan lain sebagainya, tidak pula ke tempat yang
dibangun di atas peninggalan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
Selain itu, tidak ada seorangpun dari ulama salaf yang
mengusap-ngusap dan mencium tempat-tempat shalat Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam, di Madinah ataupun di Makkah.
Apabila tempat yang pernah di injak kaki Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam yan mulia dan juga dipakai untuk shalat, tidak ada syari’at yang
mengajarkan umat beliau untuk mengusap-ngusap atau menciuminya, maka bagaimana
bisa dijadikan hujjah untuk tabarruk, dengan mengatakan bahwa (si fulan yang
wali) –bukan lagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam- pernah shalat atau
tidur disana ?! Para
ulama telah mengetahui secara pasti berdasarkan dalil-dalil dari syariat Islam,
bahwa menciumi dan mengusap-ngusap sesuatu untuk ber-tabarruk tidaklah termasuk
syariat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam” [Lihat Iqtidha’ Al-Shirath
Al-Mustaqim 2/759-802]
[Disalin dari buku At-Tauhid Lish-Shaffits Tsani
Al-‘Aliy, edisi Indonesia Kitab Tauhid-3, hal 152-159, Darul
Haq]
Bagian Terakhir dari Dua Tulisan
[2/2]
[3] Bid’ah Dalam Hal Ibadah Dan Taqarrub Kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala.
Bid’ah-bid’ah yang berkaitan dengan ibadah, pada saat
ini cukup banyak. Pada dasarnya ibadah itu bersifat tauqif (terbatas pada ada dan
tidak adanya dalil), oleh karenanya tidak ada sesuatu yang disyariatkan dalam
hal ibadah kecuali dengan dalil. Sesuatu yang tidak ada
dalilnya termasuk kategori bid’ah, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Barangsiapa
mengerjakan amalan yang tidak ada padanya perintah kami maka dia tertolak”
[Hadits Riwayat Muslim]
Ibadah-ibadah yang banyak dipraktekkan pada masa
sekarang ini, sungguh banyak sekali, di antaranya ;
Mengeraskan niat ketika shalat. Misalnya dengan membaca dengan
suara keras.
“Artinya : Aku berniat untuk
shalat ini dan itu karena Allah Ta’ala”
Ini termasuk bid’ah, karena tidak diajarkan oleh
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan karena
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Artinya : Katakanlah (kepada
mereka), ‘Apakah kalian akan memberitahukan kepada Allah tentang agamamu
(keyakinanmu), padahal Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada
di bumi dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” [Al-Hujarat :
16]
Niat itu tempatnya adalah hati. Jadi dia adalah aktifitas hati bukan
aktifitas lisan. Termasuk juga dzikir berjama’ah
setelah shalat. Sebab yang disyariatkan yaitu bahwa setiap membaca dzikir
yang diajarkan itu sendiri-sendiri, di antara juga adalah meminta membaca
surat Al-Fatihah pada
kesempatan-kesempatan tertentu dan setelah membaca do’a serta ditujukan kepada
orang-orang yang sudah meninggal. Termasuk juga dalam katagori
bid’ah, mengadakan acara duka cita untuk orang-orang yang sudah meninggal,
membuatkan makanan, menyewa tukang-tukang baca dengan dugaan bahwa hal tersebut
dapat memberikan manfaat kepada si mayyit. Semua itu adalah bid’ah yang
tidak mempunyai dasar sama sekali dan termasuk beban
dan belenggu yang Allah Subhanahu wa Ta’ala sekali-kali tidak menurunkan hujjah
untuk itu.
Termasuk bid’ah pula yaitu perayaan-perayaan yang
diadakan pada kesempatan-kesempatan keagamaan seperti Isra’ Mi’raj dan hijrahnya
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Perayaan-perayaan tersebut sama sekali tidak mempunyai
dasar dalam syari’at, termasuk pula hal-hal yang dilakukan khusus pada bulan
Rajab, shalat sunnah dan puasa khusus. Sebab tidak ada bedanya
dengan keistimewaannya dibandingkan dengan bulan-bulan yang lain, baik dalam
pelaksanaan umrah, puasa, shalat, menyembelih kurban dan lain
sebagainya.
Yang termasuk bid’ah pula yaitu dzikir-dzikir sufi dengan segala macamnya. Semuanya
bid’ah dan diada-adakan karena dia bertentangan dengan dzikir-dzikir yang
disyariatkan baik dari segi redaksinya, bentuk pembacaannya dan
waktu-waktunya.
Di antaranya pula adalah mengkhususkan malam Nisfu
Sya’ban dengan ibadah tertentu seperti shalat malam dan berpuasa pada siang
harinya. Tidak ada keterangan yang
pasti dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang
amalan khususnya untuk saat itu, termasuk bid’ah pula yaitu membangun di atas
kuburan dan mejadikannya seperti masjid serta menziarahinya untuk ber-tabarruk
dan bertawasul kepada orang mati dan lain sebagainya dari tujuan-tujuan lain
yang berbau syirik.
Akhirnya, kami ingin mengatakan bahwa bid’ah-bid’ah itu
ialah pengantar pada kekafiran.
Bid’ah adalah menambah-nambahkan ke dalam agama ini sesuatu yang tidak
disyari’atkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan
RasulNya. Bid’ah lebih jelek dari maksiat besar
sekalipun. Syetan akan bergembira dengan
terjadinya praktek bid’ah melebihi kegembiraannya terhadap maksiat yang besar.
Sebab, orang yang melakukan maksiat, dia tahu apa yang
dia lakukannya itu maksiat (pelanggaran) maka (ada kemungkinan) dia akan
bertaubat. Sementara orang yang melakukan bid’ah, dia meyakini bahwa
perbuatannya itu adalah cara mendekatkan diri kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka dia tidak akan bertaubat. Bid’ah-bid’ah itu
akan dapat mengikis sunnah-sunnah dan menjadikan
pelakunya enggan untuk mengamalkannya.
Bid’ah akan dapat menjauhkan
dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan akan mendatangkan kemarahan dan siksaanNya
serta menjadi penyebab rusak dan melencengnya hati dari
kebenaran.
SIKAP TERHADAP AHLI BID’AH
Diharamkan mengunjungi dan duduk-duduk dengan ahli
bid’ah kecuali dengan maksud menasehati dan membantah
bid’ahnya. Karena bergaul dengan
ahli bid’ah akan berpengaruh negatif, dia akan
menularkan permusuhannya pada yang lain. Kita wajib memberikan
peringatan kepada masyarakat dari mereka dan bahaya mereka. Apabila kita sudah bisa menyelamatkan dan mencegah mereka dari
praktek bid’ah. Dan kalau tidak, maka diharuskan kepada
para ulama dan pemimpin umat Islam untuk menentang bid’ah-bid’ah dan mencegah
para pelakunya serta meredam bahaya mereka. Karena
bahaya mereka terhadap Islam sangatlah besar. Suatu hal yang perlu pula
untuk diketahui bahwa negara-negara kafir sangat mendukung para pelaku bid’ah
dan membantu mereka untuk menyebarluaskan bid’ah-bid’ah mereka dengan berbagai
macam cara, sebab didalamnya terdapat proses
penghangusan Islam dan pengrusakan terhadap gambaran Islam yang
sebenarnya.
Kita memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, semoga Dia akan menolong agamaNya, meninggikan
kalimatNya, serta menghinakan musuh-musuhNya.
Semoga shalawat dan salam
tercurahkan keharibaan Nabi Muhammad Shallallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga
dan sahabat-sahabat beliau.
[Disalin dari buku At-Tauhid Lish-Shaffits Tsani
Al-‘Aliy, edisi Indonesia Kitab Tauhid-3, hal 152-159, Darul
Haq]