*Indonesia Ohh.... Indonesia........*
Pernah dengar nama Yudistira Virgus? Atau, Edbert Jarvis Sie? Atau,
Ardiansyah? Andika Putra? Atau, Ali Sucipto?
Kalau Anda menganggap nama-nama itu terasa asing di telinga, jangan berkecil
hati. Maklumlah, mereka memang tidak cukup diekspos media massa. Jangankan
tampang, nama mereka saja tidak hadir di halaman satu surat kabar, di halaman
depan tabloid dan majalah, apalagi di prime time siaran televisi dan radio
kita.
Dibandingkan Veri, Kia, dan Mawar (tiga finalis AFI), misalnya, pemberitaan
soal Yudistira dan kawan-kawan bisa dibilang 'cuma seujung kuku'.
Padahal, prestasi mereka sangat membanggakan. Mereka berlima semua siswa SMA
membawa Indonesia menempati peringkat lima besar dalam Olimpiade Fisika
Internasional di Pohang, Korea Selatan, yang baru berakhir Kamis lalu.
Dalam ajang prestisius yang diikuti 73 negara ini, Indonesia hanya berada di
bawah Belarusia, Cina, Iran, dan Kanada. Negara-negara besar seperti AS,
Jepang, atau Jerman dilibas. Yudistira merebut medali emas untuk kategori total
ujian teori dan praktik (eksperimen), sementara keempat teman lainnya merebut
medali perak dan perunggu.
Tapi, begitulah Indonesia.
Pencapaian dalam kemampuan menguasai atau mengembangkan ilmu pengetahuan
tidak memperoleh perhatian besar. Remaja Indonesia, sejak kecil, diajarkan
untuk justru mengagumi hal-hal tidak mendasar.
Lihat saja bagaimana saat ini ribuan remaja Indonesia berduyun-duyun
mengikuti berbagai ajang kompetisi adu tarik suara atau bahkan adu kecantikan.
Impian 'menjadi bintang' terus dipompakan ke benak bangsa ini.
Program seperti AFI dan semacamnya tidaklah buruk. Tapi, skalanya sudah
menjadi begitu besar dan sama sekali tidak proporsional sehingga bisa
menyesatkan rentang pilihan yang terbayang di benak bangsa ini.
Indonesia adalah negara miskin dan terbelakang. Salah satu syarat utama
untuk mengatasi ketertinggalan ini adalah penguasaan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Karena itu, negara ini membutuhkan penghibur (entertainer) dalam
jumlah 'secukupnya' saja.
Kita tentu perlu mensyukuri lahir dan tumbuhnya sebuah generasi muda yang
cantik, gagah, pintar menari dan bernyanyi, atau berakting; namun kita
memerlukan lebih banyak lagi orang pintar.
Kepintaran rupanya memang tak dianggap punya daya tarik tinggi. Akibatnya,
media massa tidak memberi tempat cukup bagi prestasi yang terkait dengan
'keunggulan otak'.
Tanpa disengaja, media tidak mengondisikan masyarakat untuk menghargai
'kepintaran'.
Bahkan, di siaran televisi, lazim kita melihat bagaimana kaum ilmuwan
ditampilkan secara karikatural: sebagai profesor pikun beruban dan berkacamata
tebal yang tidak punya kehidupan sosial. Pasokan sumber daya manusia unggul di
negara ini dipinggirkan.
Tentu saja bukan cuma media massa yang berkonstribusi. Kita misalnya juga
tidak melihat upaya serius pemerintah untuk memelihara dan mengembangkan
kualitas brainware ini.
Yudistira dan kawan-kawan pun bisa saja akhirnya tidak akan dapat
dimanfaatkan untuk kemajuan bangsa ini karena mereka keburu digaet pihak asing.
Yudistira misalnya dikabarkan sudah memperoleh beasiswa dari sebuah universitas
teknologi di AS. Dikabarkan pula dua anggota tim Olimpiade Fisika sudah
diterima Nanyang University of Singapura (NUS).
Maklumlah, perguruan tinggi asing ini aktif mendekati para calon ilmuwan
terbaik yang mereka dapati di ajang internasional, sembari mengiming-imingi
beasiswa, jaminan hidup, dan bahkan jaminan kerja.
Sementara Indonesia, hanya mengamati mereka dari jauh.
Tidak pernah dengar nama Yudistira Virgus? Tidak apa-apa, kok. Ia cuma
pemenang medali emas di Olimpiade Internasional!
Best regards,
Ade Armando (Republika Online)