Ja'far bin Abu Thalib bin Abdul Muthalib bin Hasyim masuk Islam sejak
awal dan sempat mengikuti hijrah ke Habasyah. Ia malah sempat
mendakwahkan Islam di daerah itu.
Dalam Perang Muktah, ia
diserahi tugas menjadi pemegang bendera Islam. Setelah tangan kanannya
terpotong dia memegang bendera dengan tangan kiri. Namun tangan kirinya
juga terpotong, sehingga dia memegang bendera itu dengan dadanya.
Akhirnya, ia mati syahid dengan tubuh penuh luka dan sayatan pedang.
Di
kalangan Bani Abdi Manaf ada lima orang yang sangat mirip dengan
Rasulullah SAW, sehingga seringkali orang salah menerka. Mereka itu
adalah Abu Sufyan bin Harits bin Abdul Muthallib, sepupu sekaligus
saudara sesusuan beliau. Qutsam Ibnul Abbas bin Abdul Muthallib, sepupu
Nabi. Saib bin Ubaid bin Abdi Yazin bin Hasyim. Ja’far bin Abu Thalib,
saudara Ali bin Abu Thalib. Dan Hasan bin Ali bin Abu Thalib, cucu
Rasulullah SAW. Dan Ja'far bin Abu Thalib adalah orang yang paling mirip
dengan Nabi SAW di antara mereka berlima.
Ja’far dan istrinya,
Asma’ bin Umais, bergabung dalam barisan kaum Muslimin sejak dari awal.
Keduanya menyatakan Islam di hadapan Abu Bakar Ash-Shiddiq sebelum
Rasulullah SAW masuk ke rumah Al-Arqam.
Pasangan suami istri
Bani Hasyim yang muda belia ini tidak luput pula dari penyiksaan kaum
kafir Quraisy, sebagaimana yang diderita kaum Muslimin yang pertama-tama
masuk Islam. Namun mereka bersabar menerima segala cobaan yang menimpa.
Namun yang merisaukan mereka berdua adalah kaum Quraisy
membatasi geraknya untuk menegakkan syiar Islam dan melarangnya untuk
merasakan kelezatan ibadah. Maka Ja’far bin Abu Thalib beserta istrinya
memohon izin kepada Rasulullah untuk hijrah ke Habasyah bersama-sama
dengan para sahabat lainnya. Rasulullah SAW pun mengizinkan.
Ja'far
pun menjadi pemimpin kaum Muslimin yang berangkat ke Habasyah. Mereka
merasa lega, bahwa Raja Habasyah (Najasyi) adalah orang yang adil dan
saleh. Di Habasyah, kaum Muslimin dapat menikmati kemanisan agama yang
mereka anut, bebas dari rasa cemas dan ketakutan yang mengganggu dan
yang menyebabkan mereka hijrah.
Ja’far bin Abu Thalib beserta
istri tinggal dengan aman dan tenang dalam perlindungan Najasyi yang
ramah tamah itu selama sepuluh tahun.
Pada tahun ke-7 Hijriyah,
kedua suami istri itu meninggalkan Habasyah dan hijrah ke Yatsrib
(Madinah). Kebetulan Rasulullah SAW baru saja pulang dari Khaibar.
Beliau sangat gembira bertemu dengan Ja’far sehingga karena
kegembiraannya beliau berkata, "Aku tidak tahu mana yang menyebabkan aku
gembira, apakah karena kemenangan di Khaibar atau karena kedatangan
Ja’far?"
Begitu pula kaum Muslimin umumnya, terlebih fakir
miskin, mereka juga bergembira dengan kedatangan Ja’far. Ia adalah sosok
yang sangat penyantun dan banyak membela golongan dhuafa, sehingga
digelari Abil Masakin (bapak orang-orang miskin).
Abu Hurairah
bercerita tentang Ja’far, "Orang yang paling baik kepada kami (golongan
orang-orang miskin) ialah Ja’far bin Abu Thalib. Dia sering mengajak
kami makan di rumahnya, lalu kami makan apa yang ada. Bila makanannya
sudah habis, diberikannya kepada kami pancinya, lalu kami habiskan
sampai dengan kerak-keraknya."
Belum begitu lama Ja’far tinggal
di Madinah, pada awal tahun ke-8 Hijriyah, Rasululalh SAW menyiapkan
pasukan tentara untuk memerangi tentara Romawi di Muktah. Beliau
mengangkat Zaid bin Haritsah menjadi komandan pasukan.
Rasulullah
berpesan, "Jika Zaid tewas atau cidera, komandan digantikan Ja’far bin
Abi Thalib. Seandainya Ja’far tewas atau cidera pula, dia digantikan
Abdullah bin Rawahah. Dan apabila Abdullah bin Rawahah cidera atau gugur
pula, hendaklah kaum muslmin memilih pemimpin/komandan di antara
mereka."
Setelah pasukan sampai di Muktah, yaitu sebuah kota
dekat Syam dalam wilayah Yordania, mereka mendapati tentara Romawi telah
siap menyambut dengan kekuatan 100.000 pasukan inti yang terlatih,
berpengalaman, dan membawa persenjataan lengkap. Pasukan mereka juga
terdiri dari 100.000 milisi Nasrani Arab dari kabilah-kabilah Lakham,
Judzam, Qudha’ah, dan lain-lain. Sementara, tentara kaum Muslimin yang
dipimpin Zaid bin Haritsah hanya berkekuatan 3.000 tentara.
Begitu
kedua pasukan yang tidak seimbang itu berhadap-hadapanan, pertempuran
segera berkobar dengan hebatnya. Zaid bin Haritsah gugur sebagai syahid
ketika dia dan tentaranya sedang maju menyerbu ke tengah-tengah musuh.
Melihat
Zaid jatuh, Ja’far segera melompat dari punggung kudanya, kemudian
secepat kilat disambarnya bendera komando Rasulullah dari tangan Zaid,
lalu diacungkan tinggi-tinggi sebagai tanda pimpinan kini beralih
kepadanya. Dia maju ke tengah-tengah barisan musuh sambil mengibaskan
pedang kiri dan kanan memukul rubuh setiap musuh yang mendekat
kepadanya. Akhirnya musuh dapat mengepung dan mengeroyoknya.
Ja’far
berputar-putar mengayunkan pedang di tengah-tengah musuh yang
mengepungnya. Dia mengamuk menyerang musuh ke kanan dan kiri dengan
hebat. Suatu ketika tangan kanannya terkena sabetan musuh sehingga
buntung. Maka dipegangnya bendera komando dengan tangan kirinya.
Tangan
kirinya putus pula terkena sabetan pedang musuh. Dia tidak gentar dan
putus asa. Dipeluknya bendera komando ke dadanya dengan kedua lengan
yang masih utuh. Namun tidak berapa lama kemudian, kedua lengannya
tinggal sepertiga saja dibuntung musuh. Ja'far pun syahid menyusul Zaid.
Secepat kilat Abdullah bin Rawahah merebut bendera komando dari
komando Ja’far bin Abu Thalib. Pimpinan kini berada di tangan Abdullah
bin Rawahah, sehingga akhirnya dia gugur pula sebagai syahid, menyusul
kedua sahabatnya yang telah syahid lebih dahulu.
Rasulullah SAW
sangat sedih mendapat berita ketiga panglimanya gugur di medan tempur.
Beliau pergi ke rumah Ja’far, didapatinya Asma’, istri Ja’far, sedang
bersiap-siap menunggu kedatangan suaminya. Dia mengaduk adonan roti,
merawat anak-anak, memandikan dan memakaikan baju mereka yang bersih.
Asma’
bercerita, "Ketika Rasulullah mengunjungi kami, terlihat wajah beliau
diselubungi kabut sedih. Hatiku cemas, tetapi aku tidak berani
menanyakan apa yang terjadi, karena aku takut mendengar berita buruk.
Beliau memberi salam dan menanyakan anak-anak kami. Beliau menanyakan
mana anak-anak Ja’far, suruh mereka ke sini.”
Asma' kemudian
memanggil mereka semua dan disuruhnya menemui Rasulullah SAW. Anak-anak
Ja'far berlompatan kegirangan mengetahui kedatangan beliau. Mereka
berebutan untuk bersalaman kepada Rasulullah. Beliau menengkurapkan
mukanya kepada anak-anak sambil menciumi mereka penuh haru. Air mata
beliau mengalir membasahi pipi mereka.
Asma' bertanya, "Ya Rasulullah, demi Allah, mengapa anda menangis? Apa yang terjadi dengan Ja’far dan kedua sahabatnya?"
Beliau menjawab, "Ya, mereka telah syahid hari ini."
Mendengar
jawaban beliau, maka reduplah senyum kegirangan di wajah anak-anak,
apalagi setelah mendengar ibu mereka menangis tersedu-sedu. Mereka diam
terpaku di tempat masing-masing, seolah-olah seekor burung sedang
bertengger di kepala mereka.
Rasulullah berdoa sambil menyeka
air matanya, "Ya Allah, gantilah Ja’far bagi anak-anaknya... Ya Allah,
gantilah Ja’far bagi istrinya."
Kemudian beliau bersabda, "Aku
melihat, sungguh Ja’far berada di surga. Dia mempunyai dua sayap
berlumuran darah dan bertanda di kakinya."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar